Perbedaan
Bank Syariah dan Bank Konvensional
1.
Pendahuluan
Bank merupakan salah
satu urat nadi perekonomian sebuah negara, tanpa Bank, bisa kita bayangkan
bagaimana kita sulitnya menyimpan dan mengirimkan uang, memperoleh tambahan
modal usaha atau melakukan transaksi perdagangan Internasional secara efektif
dan aman. Saat ini banyak orang memperbincangkan tentang perbankan syariah,
yang merupakan salah satu perangkat ekonomi syariah. Sebenarnya apa definisi dari
Bank syariah itu? Bagaimana cara kerja Bank Syariah? Dan apa bedanya Bank
Syariah dengan Bank Umum yang banyak berkembang di masyarakat saat ini atau
yang sering disebut juga dengan Bank Konvensional? Disini akan dibahas sekilas
satu per satu tentang perbankan syariah.
2.
Landasan Teori
Menurut Undang‐Undang No. 10 Tahun
1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Berikut ada beberapa
pengertian bank :
1. Pengertian Bank Umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan atau
berdasarkan prisip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas
pembayaran;
2. Bank Perkreditan
Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa lalu
lintas pembayaran;
3.
Pembahasan
Bank di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI
No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”. Perbankan
syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem perbankan syariah
ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam
dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk
usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan dengan produksi
makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), dimana hal ini
tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia perbankan
syariah dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia, dan hingga tahun 2007 sudah
terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia,
Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah
memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank, diantaranya merupakan bank besar
seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini
telah berkembang 104 BPR Syariah. Keberadaan Bank Syariah di Indonesia telah di
atur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Sementara itu, Bank Konvensional adalah Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usahanya secara konvensional.
Pertama – tama akan
kita bahas tentang persamaan dari kedua bank tersebut, yakni ada persamaan
dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk
mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan
sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang dijalankan pada Bank
Syariah itu sama persis dengan yang dijalankan pada Bank Konvensional, dan hampir
tidak ada bedanya.
Selanjutnya, mengenai
perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Yang pertama tentang akad
dan legalitas, yang merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah
dan bank konvensional. “innamal a’malu bin niat”, sesungguhnya setiap amalan
itu bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya.
Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad
yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa – menyewa. Tidak ada unsur
riba’ dalam bank syariah ini, justru menerapkan sistem bagi hasil dari
keuntungan jasa atas transaksi riil.
Perbedaan selanjutnya
yaitu dalam hal struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan
untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS
ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai
dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat
dengan dewan komisaris. DPS ini ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) setiap tahunnya. Semenjak tahun 1997, seiring dengan pesatnya
perkembangan bank syariah di Indonesia, dan demi menjaga agar para DPS di
setiap bank benar-benar tetap konsisten pada garis-garis syariah, maka MUI
membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus pada ekonomi syariah dengan
membentuk Dewan Syariah Nasional.
Penanganan resiko
usaha, Bank Syariah menghadapi resiko yang terjadi secara bersama antara bank
dan nasabah. Dalam sistem Bank Syariah, tidak mengenal negative spread (selisih
negatif). Sedangkan pada Bank Konvensional, resiko yang dialami bank tidak ada
kaitannya dengan resiko debitur dan sebaliknya. Antara pendapatan bunga dengan
beban bunga dimungkinkan terjadi negative spread (selisih negatif) dalam sistem
Bank Konvensional.
Lalu perbedaan lainnya
adalah pada lingkungan kerja Bank Syariah. Sekali-sekali cobalah kunjungi Bank
Syariah, pasti ketika kita memasuki kantor bank tersebut ada nuansa tersendiri.
Nuansa yang diciptakan untuk lebih bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian,
beretika dan bertingkahlaku dari para karyawannya. Nuansa yang dirasakan memang
berbeda, lebih sejuk dan lebih islami.
Perbedaan utama yang
paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni pembagian
keuntungan. Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Hal
ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator penabung dengan
peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena nasabah telah mempercayakan
dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta bunganya.
Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga tabungan dengan
bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan dari bunga tanpa
keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak ikut merasakan
untung rugi usaha tersebut.
Hal yang sama tak
berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan
kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi
antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun
bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas
pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang
dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari bank. Penabung tak
memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan
berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
4.
Kesimpulan
Dari perbandingan yng
telah dijelaskan di atas terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank
Konvensional penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun
pembagian bunga tak terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga
berapapun pendapatan bank, nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga
yang dijanjikan saja. Sekilas perbedaan itu memperlihatkan di Bank Syariah
nasabah mendapatkan keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan
bank. Jika pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil
yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan keuntungan
sedikit.
5.
Referensi
semoga ke depannya, bank syariah menjadi bank andalan dan kepercayaan umat islam seluruhnya
ReplyDelete2. Bank syariah dan konvensional sama saja haramnya.
ReplyDelete3. SISTEM AUDIT PADA PERBANKAN SYARI'AH
Indonesia telah menetapkan Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah yang mengatur tentang legalitas Perbankan Syaria’h. Ciri utama Perbankan Syari’ah adalah berdasarkan bagi hasil antara pemilik harta sebagai shahib al-mal atau nasabah dan pihak bank sebagai pengelola atau mudlarib. Dengan kesepakatan nisbah (prosentase bagi hasil) sesuai kesepakatan para pihak. Dalam kesepakatannya, biasanya antara 70 % banding 30 %, 65 % banding 35 % atau 60 % banding 40 %. Ironisnya, pembagian bagi hasil itu selalu dibawah prosentase bunga bank konvensional. Bahkan dalam prakteknya, antar satu bank dengan bank lainnya meskipun sama dalam memberikan nisbah-nya tetapi hasilnya berbeda. Menurut prakteknya, sistem audit, administrasi dan penghitungannya masing-masing Perbankan Syari’ah berbeda.
Pertanyaan:
a. Bagaimana hukum penghitungan nisbah bagi hasil perbankan yang tidak diketahui oleh pihak nasabah padahal dalam akad telah disebutkan nisbah-nya?
b. Bagaimana hukumnya jika perhitungan atau audit keuangannya tidak menggunakan sistem yang Islami?
Jawaban ku:
a. Perhitungan nisbah bagi hasil yang tidak diketahui oleh nasabah, tidak dibenarkan, sebab perhitungan harus dilakukan di hadapan nasabah. Disamping itu akadnya batal, sebab perhitungan dan pembagian laba harus dilakukan setelah berakhirnya mudharabah (pengembalian ra'sul mal).
b. Hukumnya tidak sah dan tidak dibenarkan.
Catatan:
Mudlarabah dianggap sah dan dibenarkan jika memenuhi persyaratan sbb:
1. Ada kesepakatan prosentase laba yang jelas
2. Tidak dibatasi oleh masa tertentu
3. 'Amil tidak menanggung resiko kecuali disebabkan oleh kecerobohannya
4. Laba dijadikan penjamin apabila terjadi kerugian (baca Kifayah al-Akhyar, Juz I, H. 303-304)
Referensi:
6. المغنى شرح الكبير ج 5 ص 149
وإن دفع إليه ألفين مضاربة على
7. بداية المجتهد ونهاية المقتصد ج 1 ص 591
وأجمع علماء الامصار على أنه لا يجوز للعامل أن يأخذ نصيبه من الربح إلا بحضرة رب المال
8. الفقه الإسلامي ج 7 ص 5065
الأصل العام المقرر فى المضاربة الخاصة: أن كل تعاقد ثنائي قائم بذاته،.
9. الفقه الإسلامي ج 4 ص 860
وأما الربح الناتج من المضاربة فيوزع حسب الشرط فيعطى